BUDAYA ALAM MINANGKABAU. (BAM)
SMA NEGERI 1 KECAMATAN GUGUAK
KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
KELAS XI. SEMESTER.II
SK: MEMAHAMI PENGERTIAN ARTI DAN MAKNA SAKO,PUSAKO, SANGSAKO, DAN NORMA ADAT MINANGKABAU.
KD:
- SAKO.
Sako tatap pusako bailiran sangsako pakai mamakai adalah merupakan filosofi adat yang mengandung makna luas dan dalam. Dikatakan dalam karena setiap kata sako, pusako dan sangsako tersebut memilki arti yang sepesifik dan mengandung makna yang luas. Orang Minangkabau mengungkapkan sesuatu apakah itu gelar, harta dan gelar kebesaran atau pangkat kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang patut menurut adat diungkapkan dengan kata-kata yang bemakna.
Sako berdasarkan tutur kata dari orang tua-tua disebut tiang yang mengandung makna pemimpin dalam suatu kaum di Minangkabau. Ibarat suatu bagunan tiang atau tonggak memiliki fungsi dan arti yang sangat penting, untuk dapatnya dinding, loteng dan atap suatu bangunan berdiri. Begitu pula menurut orang Minangkabau manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat saling keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain sehingga manusia harus menjalin suatu hubungan dengan manusia sesamanya. Himpunan manusia yang paling kecil di Minangkabau dinamakan kaum nan sapayuang sapatogak. Untuk dapatnya kaum tersebut sempurna sebagaimana yang diibaratkan dengan sebuah bangunan diatas tadi, adat Minangkabau mengharuskan suatu kaum memiliki pemimpin. Dan yang menjadi pemimpin itu dipilih dari salah seorang anggota kaum yang ditunjuk berdasarkan musyawarah mufakad disebut dengan Panghulu (Datuak). Sebutan Panghulu (Datuak) inilah yang disebut dengan Sako, yang berarti gelar.
Disamping itu sako menurut istilah adalah gelar pemimpin ( gelar pusako ) suatu kaum yang diterima secara turun temurun dari niniak kepada mamak dari mamak kepada kemenakan begitu seterusnya, dan hanya akan berputar pada lingkungan cupak adat nan sapayuang sapatogak, sebagaimana filosofi adat: Sako tatap turun temurun dalam lingkungan cupak adat nan sapayuang sapatogak nan basasok bajurami nan bapandam pakuburan nan batunggua bapanabangan, dimaa batang tagolek disitu cindawan tumbuah, dimaa tanah tasirah disitu tambilang makan.
Pemimpin bagi suatu kaum di Minangkabau yang diberi gelar dengan sebutan Panghulu (Datuak). Gelar tersebut merupakan suatu gelar kehormatan sebagai orang yang dituakan selangkah dan ditinggikan seranting oleh kaumnya. Menurut adat seorang pemimpin kaum itu dipilih berdasarkan musyawarah mufakad dari anggota kaumnya; “ Badiri Panghulu Sapokad Kaum, Badiri Adat Sapokad Nagari”. Maka tidak sahlah seseorang menjadi Panghulu (Datuak) kalau tidak berdasarkan mufakad dari kaumnya.
Sako totop, artinya gelar pusako suatu kaum (Panghulu/Datuak) dari kaum tersebut hanya akan berputar silih berganti pada kaum itu sendiri dan tidak akan pindah pada kaum lain apalagi kepada suku lain. Hal inilah yang diungkapkan oleh filosofi adat:
“Sako totop turun tamurun dalam lingkung cupak adat nan sapayuang sapatogak nan basasok bajurami nan bapandam pakuburan nan batunggua bapanabangan dima batang tagolek disitu cindawan tumbuah dima tanah tasirah disitu tambilang makan”.
Demikian filosofi adat yang mengungkapkan bahwa gelar pusako yang dinamakan dengan sako itu hanya akan berputar silih berganti pada kaum nan sapayuang sapatogak, artinya yang berhak terhadap gelar pusako suatu kaum adalah kaum yang sama (satu keturunan). Setelah kaum tersebut memiliki kespakatan siapa yang mereka percaya untuk mejujung gelar pusako sebagai pemimpin mereka, maka kaum tersebut haus melengkapi segala persyaratan adat istiadat yang telah dirumuskan oleh para pemangku adat salingka nagari, “ Maisi adat manuang limbago”, artinya kaum tersebut melengkapi syarat dan rukun baik dalam membangun maupun dalam menggantikan gelar.
Untuk mengetahui akan kebesaran sako dan bagaimana cara membangun dan menggantikannya gelar pusako (Panghulu) suatu kaum di Minangkabau, adalah dengan mempelajari adat Minangkabau yang membahas mengenai “Kagodangan Panghulu”, mempelajari alua adat dan pusako yang menyangkut akan keberadaan dan kebesaran sako bagi suatu kaum. Dengan benar-benar mempelajari, memahami dan menghayati secara benar akan keberadaan dan kebesaran sako suatu kaum yang disebut dengan istilah “Kagodangan Panghulu” tersebut insyaallah kita bisa dan dapat membangun dan menggantikan sako (gelar) pusako kaum dengan benar.
Kagodangan Panghulu adalah kebesaran dan keberadaan gelar pusako (panghulu) suatu kaum dalam mendiami suatu wilayah Nagari tertentu di Minangkabau. Suatu kaum di Minangkabau dapat dikatakan sempurna setelah memiliki gelar pusako yang disebut dengan Datuak (Panghulu). Berdasarkan nilai-bilai budaya yang hidup dan berkembang tentang lahirnya suatu gelar pusako bagi suatu kaum dapat digolongkan kepada tujuh Kagodangan Panghulu yang terdiri dari:
1. Godang Dikato Nan Baru
2. Godang Basiba Baju
3. Godang Mambangkik Batang Tarandam
4. Godang Mangombang Nan Balipek
5. Godang di Pakuburan
6. Godang Batungkek Bodi
7. Godang Bakarelaan.
Ad. 1. Godang di Kato Nan Baru.
Godang dikato nan baru adalah suatu cara membangun gelar pusako suatu kaum yang belum memiliki gelar pusako dalam menempati suatu wilayah nagari tertentu di Minangkabau. Atau cara memakai gelar yang baru diperdapat/diperoleh/dipakai oleh kaum tersebut dalam mendiami suatu wilayah nagari tertentu di Minangkabau. Barunya gelar pusako bagi suatu kaum dapat diperoleh oleh kaum tersebut karena gelar itu dibawa dari nagari asalnya dan ada pula gelar itu diperoleh dari nagari yang didiaminya atas musyawarah/kesepakatan dengan para panghulu pemangku adat dalam nagari yang bersangkutan setelah adanya kelengkapan persyaratan dan rukun akan kesempurnaan kaum dimiliki oleh kaum tersebut dalam mendiami wilayah nagari di Minangkabau.
Seseorang yang baru menetap disuatu wilayah nagari tertentu secara kodratnya akan berkembang biak, dan apabila perkembangan manusia secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama akan sampai perekembangan manusia itu pada persyaratan sebagai orang Minangkabau yaitu adanya empat keturunan keatas dan empat keturunan kebawah. Jadi menurut adat Minangkabau setelah adanya suatu kaum memiliki empat kateh dan empat kabawah artinya empat keturunan keatas dan empat keturunan kebawah sudah ada yang dapat dilihat dari silsilah keturunan dengan membuat silsilah ranji kaum yang sudah ada itu, maka barulah keturunan kaum tersebut dapat dikatakan menjadi orang Minangkabau.
Gelar pusako yang dipakai oleh suatu kaum karena dibawanya dari nagari asalnya disebut dengan “ Manggungguang Mambaok Tabang”. Dan gelar pusako yang baru diperdapat dan dipakai oleh suatu kaum yang dibuat/dirumuskan oleh kaum tersebut bersama para niniak mamak pemangku adat dari dalam Nagari yang didiaminya itu sendiri atas pemberian kesepakatan para pemangku adat tersebut dinamakan dengan “ Nan Batunggua Bapanabangan”. Biasanya gelar yang diberikan berdasarkan kesepakatan para niniak mamak pemangku adat adalah diambil dari sifat-sifat yang merupakan ciri khas dan watak dari kaum tersebut yang dipandang baik dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Badiri panghulu sapokad kaum
Badiri adat sapokad nagari
Nak rajo maisi ka alam
Nak panghulu maisi ka nagari
Adat diisi
Limbago samo dituang
Darah samo dikacau
Tanduak samo di tanam
Dagiang samo dilapah
Mamakai adat batiru batuladan
Mamaki hereng nan gendeng
Himbau nan biaso basahuti
Panggia nan biaso baturuti
Tabantang tirai langi-langik
Takambang sipayuang kuniang
Bakiba marawa basa
Babuni tabuah larangan
Manyawik tabuah nan banyak
Tabuah jumaat panudahi.
Demikian filosofi adat untuk membangun gelar pusako bagi suatu kaum yang diperdapat dengan Godang dikato nan baru melalui adanya tiga tahapan kerapatan, dimulai dari :
- Kerapatan kaum
- Kerapatan suku
- Kerapatan nagari
Ad. 2 . Godang Basiba Baju.
Godang Basiba baju adalah cara membangun gelar pusako suatu kaum yang semula satu menjadi dua, karena kemenakan yang sudah berkembang biak dan menempati wilayah yang cukup luas. Keberadaan dan kebesaran gelar pusako suatu kaum yang merupakan belahan dari gelar pusako kaum induknya itu yang disebut dengan Godang Basiba baju. Berarti gelar pusako baru, yang dibelah atau berasal dari satu gelar sebelumnya dinamakan dengan Godang Basiba Baju, yang juga dikenal dibeberapa nagari dengan istilah Baguntiang Siba Baju atau Bguntiang Silongan Baju dan sebagainya.
Timbulnya Godang Basiba Baju adalah merupakan hakekat dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial yaitu makhluk yang hidup berkembang biak, sehingga suatu kaum memiliki keturunan yang cukup besar jumlahnya bahkan sampai keturunannya mendiami wilayah nagari yang berbeda. Dengan berkembangnya manusia dari kaum tersebut sejalan pula dengan perluasan/ perkembangan wilayah yang mereka diami, maka dibelahlah gelar pusako yang satu itu menjadi dua untuk memimpin manusia yang sudah semakin banyak. Dengan demikian untuk dapatnya suatu gelar pusako dibagi/dibelah menjadi dua tentu kaum tersebut telah berkembang biak dan tidak memungkimkan lagi untuk dapat dipertahankan bagi kaum tersebut hanya satu pemimpin atau satu gelar saja, sehingga disepakatilah oleh kaum tersebut bersama para pemangku adat untuk membagi/membelah gelar pusako kaum tersebut menjadi dua. Belahan gelar pusako yang baru itu dinamakan dengan Godang Basiba Baju.
Gelar Pusako yang baru itu harus diberi embelan-embelan nama gelar diujung maupun dipangkal dari gelar pusako kaum induknya, sehingga terkesan bahwa gelar pusako tersebut merupakan belahan dari gelar pusako kaum induknya, misalnya Dt. Naro Nan Gandua dengan Dt.Naro, Dt.Patiah Marajo dengan Dt.Marajo Nan Elok, dan sebagainya. Embelan gelar pusako yang berada pada ujung nama gelar pusako kaum induk adalah merupakan tahap pertama, sedangkan selanjutnya kaum yang telah memiliki gelar pusako belahan ini pada suatu saat nanti adakalanya berkembang biak sehingga terjadi lagi belahan gelar pusako, maka belahan gelar pusako tersebut memiliki embelan-embelan nama dipangkal gelar pusako induk, seperti Dt. Patiah Marajo dengan Dt. Marajo Nan Elok.
Keberadaan Gelar pusako yang merupakan belahan dari gelar pusako kaum induknya yang benar lahir/berasal dari kaum yang satu keturunan atau satu ranji dengan kaum induknya dinamakan dengan ” Basiba Baju Godang Manyusu”. Namun disamping itu ada gelar pusako yang merupakan belahan dari gelar pusako kaum induknya tidak satu keturunan atau tidak satu ranji, maka gelar pusako tersebut dinamakan dengan ” Basiba Baju Godang Manyimpang”.
Gelar Pusako Basiba Baju untuk pertama kalinya gelar itu dipakai digolongkan kepada membangun gelar pusako untuk itu persayaratan yang harus dilengkapi pada dasarnya sama dengan Godang di Kato Nan Baru, sebagaimana yang terkandung dalam maksud filosofi adat:
Badiri panghulu sapokad kaum
Badiri adat sapokad nagari
Nak rajo maisi ka alam
Nak panghulu maisi ka nagari
Adat diisi
Limbago samo dituang
Darah samo dikacau
Tanduak samo di tanam
Dagiang samo dilapah
Mamaki adat batiru batuladan
Mamaki hereng nan gendeng
Himbau nan biaso basahuti
Panggia nan biaso baturuti
Tabantang tirai langi-langik
Takambang sipayuang kuniang
Bakiba marawa basa
Babuni tabuah larangan
Manyawik tabuah nan banyak
Tabuah jumaat panudahi.
Selanjutnya dalam menggantikan gelar siba baju godang nan manyimpang boleh digantikan oleh kaum yang memberi siba baju (kaum induk), bila kaum tersebut tidak memiliki persyaratan, tapi gelar pusako kaum induk (yang memberi siba baju ), tidak dapat digantikan oleh kaum yang menerima siba baju digodang manyimpang. Sedangkan kaum yang menerima gelar siba baju godang nan manyusu dengan kaum induknya boleh saling menggantikan gelar yang dipakainya, jika kaum tersebut tidak memiliki persyaratan, tentu kunci pokoknya adalah kesepakatan.
Ad.3 Godang Mambangkik Batang Tarandam.
Godang Mambangkik Batang Tarandam adalah suatu cara membangun kembali gelar pusako suatu kaum yang telah terandam. Keberadaan suatu gelar pusako suatu kaum yang dipakai kembali oleh kaum tersebut setelah gelar pusako tersebut Tarandam, adalah cara membangun kembali gelar pusako, dikarenakan tidak digantikan dan tidak dilengkapinya persyaratan gelar tersebut sesuai dengan nilai dan norma yang diperlakukan dalam lingkungan wilayah Nagari yang bersangkutan, sehingga gelar pusako tersebut Tarandam.
Tarandamnya gelar pusako suatu kaum dalam suatu wilayah nagari yaitu bila tidak dipakai, tidak digantikan, dan tidak dilengkapi persyaratan memakai gelar pusako tersebut dalam jangka waktu tertentu sebagaimana yang ditetapkan oleh para pemangku adat dalam lingkungan nagarinya. Jangka waktu tertentu itu ada yang 21 hari, dua bulan dan tiga bulan setelah orang yang menjujung gelar pusako sebelumnya meninggal dunia, tergantung sejauh mana para pemangku adat dalam nagari memahami nilai dan kaedah adat tentang makna Godang di Pakuburan maupun Godang di Tanah Tasirah.
Jika gelar pusako tersebut digantikan setelah lewat dari jangka waktu yang telah ditetapkan oleh para pemangku adat maka dinamakanlah keberadaan/kebesaran gelar pusako tersebut dengan Mambangkik Batang Tarandam, dan harus melengkapi syarat-syaratnya sebagamana halnya membangun gelar pusako atau mendirikan panghulu :
Berdiri Panghulu sapokat kaum,
Bediri adat saapokat nagori,
Nan rajo maisi ka alam
Nak panghulu maisi kenagari
Adat di isi
Limbago dituang
Darah samo dikacau
Tanduak samo di tanam
Dagiang samo di lapah
Dengan memahami filosofi adat diatas gelar pusako suatu kaum yang telah terandam boleh dipakai kembali tentu setelah adanya kesepakatan kaum, kesepakatan suku, kesepakatan nagari, dan kemudian dengan melengkapi segala persyaratan yang terkandung dalam filosofi “adat di isi limbago di tuang, darah dikacau, tanduak ditanam, dagiang samo dilapah”.
Limbago nan di tuang adat nan di isi di korong kampuang di kerapatan suku adalah Adat Asok obuak Tenggekkan Detar dengan ukuran yang telah ditetapkan oleh para pemangku adat dinagari yang bersangkutan, misalnya kupang piak atau seharga lima gantang beras, seharga Limapuluh ribu rupiah, seratus ribu rupiah dan sebagainya. Kemudian adat nan diisi, limbago nan dituang nak tuah batabuah omeh adalah dengan balabuah ka Balai Balerong adat yang disebut dengan adat labuah secukupnya dengan mempedomani ketentuan yang telah disepakati oleh para pemangku adat dalam nagari yang bersangkutan. Dan terakhir adat nan diisi limbago nan dituang adalah di diateh Balai Adat tando badiri adat sapokat nagari ( kasudahan adat ka Balerong), adat tersebut dinamakan dengan adat Tambang, misalnya seharga 40 gantang beras, satu emas, empat ratus ribu rupiah dan sebagainya. Setelah itu mengadakan peresmian upacara do’a mendo’a mengadakan jamuan minum jo makan, melengkapai syarat darah samo dikacau tanduak samo ditanam, dagiang samo dilapah, dengan seekor kerbau.
Ad. 4 Godang Mangombang Nan Balipek.
Mangombang Nan Balipek adalah suatu cara menggantikan gelar pusako suatu kaum secara adat setelah dilipat gelar pusako tersebut sebelumnya secara adat atau keberadaan gelar pusako suatu kaum yang dipakai oleh kaum tersebut setelah gelar pusako itu sebelumnya dilipat secara adat. Dilipatnya gelar pusako kaum oleh kaum tersebut tentu memiliki alasan dan persyaratan yang dibenarkan oleh adat dan ada ketentuan bagaimana cara dan persyaratannya itu dapat dilakukan.
Untuk dapatnya gelar pusako tersebut dilipat tentu dalam jangka waktu tertentu sebagaimana jangka waktu tertentu dalam memakai/menggantikan gelar pusako kaum, yang pada pokoknya dikarenakan kaum tersebut tidak memiliki keturunan yang laki-laki atau disebut dengan Tataruah, dan disamping itu tidak dapatnya kata sepakat oleh kaum tersebut untuk memakai atau menggantikan gelar pusakonya. Hal tersebut bisa saja terjadi karena tidak adanya yang mau menjujung gelar pusako dan sebaliknya karena mereka berebutan ingin menjujung gelar pusako dari kaumnya, sehingga yang dapat bagi mereka adalah kesepakatan untuk melipat gelar pusako.
Beberapa hal yang menyebabkan dilipatnya gelar pusako suatu kaum;
- Kaum dalam keadaan tataruah
- Kaum tidak memiliki keturunan laki-laki yang baliq
- Kaum tidak memiliki keturunan laki-laki yang berakal
- Kaum tidak memiliki keturunan laki-laki yang Islam
- Laki-laki dalam kaum tersebut tidak seorangpun yang mau menjujung gelar pusako kaumnya.
Adat nan diisi dan limbago nan dituang dalam melipat gelar pusako adalah adat melipat pakaian kebesaran (Panghulu) diatas rumah gadang korong kampuang dari kaum tersebut dan adat Tambang di Balai Balerong Adat, sesuai dengan ketentuan yang dirumuskan oleh para pemangku adat salingka nagari karena soko salingka suku, adat salingka nagari.
Dipakainya kembali gelar pusako kaum yang telah dilipat secara adat itu, tentu tetap memiliki pedoman aturan-aturan adat yang telah dirumuskan dengan mempedomani filosofi adat “ Badiri Panghulu Sapokad Kaum, Badiri Adat Sapokad Nagari, Adat di Isi Limbago di Tuang”. Dengan demikian berarti untuk memakai kembali gelar pusako yang sudah dilipat secara adat itu harus ada kesepakatan kaum, kesepakatan suku, kesepakatan nagari dan melengkapi segala persyaratan yang dirumuskan oleh para pemangku adat tentang makna adat diisi limbago dituang.
Adat nan di isi, limbago nan dituang di korong kampuang di kerapatan suku adalah Adat Asok obuak Tenggekkan Detar dengan ukuran yang telah ditetapkan oleh para pemangku adat dinagari yang bersangkutan, misalnya kupang piak atau seharga lima gantang beras, seharga Limapuluh ribu rupiah, seratus ribu rupiah dan sebagainya. Kemudian adat nan diisi, limbago nan dituang nak tuah batabuah omeh adalah dengan balabuah ka Balai Balerong adat yang disebut dengan adat labuah secukupnya dengan mempedomani ketentuan yang telah disepakati oleh para pemangku adat dalam nagari yang bersangkutan. Dan terakhir adat nan diisi limbago nan dituang adalah di diateh Balai Adat tando badiri adat sapokat nagari ( kasudahan adat ka Balerong), adat tersebut dinamakan dengan adat Tambang, misalnya seharga 40 gantang beras, satu emas, empat ratus ribu rupiah dan sebagainya. Sedangkan adat untuk mengadakan jamuan minum makan atau yang dikenal dengan Baralek Panghulu tidak merupakan persyaratan yang diwajibkan melainkan digolongkan kepada yang sunat, sebab kaum tersebut telah melakukan segala ketentuan adat untuk melipat gelar pusako kaum itu sebelumnya.
Ad. 5 Godang di Pakuburan ( Godang di Tanah Tasirah).
Godang di Pakuburan adalah cara menggantikan kebesaran keberadaan gelar pusako suatu kaum yang dilewakan diwaktu jasad orang yang memakai gelar pusako sebelumnya dimakamkan/ditanam di Pakuburan. Disampaikan kepada khalayak ramai siapa yang akan memakai/ menjujung /menggantikan gelar dari kaum tersebut, diwaktu jasad orang yang memakai gelar pusako sebelumnya ditanam di Pakuburan. Biasanya dilakukan melewakan gelar itu menjelang akan kembali pulang dari pemakaman, setelah jasad selesai ditanam, maka salah seorang dari anggota kaum menyampaikan kepada seluruh orang yang menghadiri pemakaman. Dan segala persyaratan adat nan kadiisi limbago nan kadituang dalam korong kampuang, koto dan nagari dilengkapi selagi masih merahnya tanah di Pakuburan tersebut, terakhir dilewakan kembali di Balai balerong Adat sehingga apa yang dimaksud dengan filosofi adat, kasudahan adat kabalerong, kasudahan barih kabalobeh benar-benar dapat dipenuhi.
Maka kesepakatan kaum bagi gelar pusako nan gadang di pakuburan tentu telah disepakati sebelum jasad dari almarhum yang menjujung gelar itu ditanam. Kesepakatan itu dapat dilakukan diwaktu orang yang menjujung gelar pusako yang meninggal itu masih hidup dan bisa dilakukan sesudah meninggal dan sebelum jasad yang menjujung gelar pusako tersebut ditanam/dimakamkan.
Disamping godang dipakuburan ada sebutan godang ditanah tasirah. Yaitu suatu keberadaan gelar pusako suatu kaum yang dipakai/digantikan oleh salah seorang dari anggota kaum selagi masih merahnya tanah dipakuburan dari orang yang menjujung gelar pusako kaum tersebut ditanam. Maka kesepakatan dari anggota kaum tersebut jelas dilakukan setelah selesainya jasad almarhum yang menjujung gelar itu ditanam dipandam pakuburan, dan segala persyaratan adat diisi limbago nan dituang dilengkapi dalam masa masih merahnya tanah pandam pakuburan dari orang yang menjujung gelar pusako itu meninggal, serta dilewakan mulai dari rumah gadang sampai ke Balai Balerong Adat. Hal itu dilakukan untuk memenuhi filosofi adat, kasudahan barih kabalobeh, kasudahan adat kabalerong.
Ketentuan jangka waktu untuk melengkapi persyaratan adat nan diisi limbago nan dituang dalam menggantikan gelar pusako nan godang dipakuburan maupun nan godang ditanah tasirah, dirumuskan oleh para pemangku adat salingka nagari, sehingga ukuran jangka waktu dalam menggantikan gelar pusako tersebut tidak sama antara satu nagari dengan nagari lain, ada yang menetapkan jangka waktunya 21 hari setelah orang yang menjujung gelar pusako yang meninggal itu ditanam, ada yang satu bulan bahkan sampai ada yang tiga bulan setelah orang yang meninggal itu jasadnya ditanam dipandam pakuburan.
Adat nan di isi, limbago nan dituang di korong kampuang di kerapatan suku adalah Adat Asok obuak Tenggekkan Detar dengan ukuran yang telah ditetapkan oleh para pemangku adat dinagari yang bersangkutan, misalnya kupang piak atau seharga lima gantang beras, seharga Limapuluh ribu rupiah, seratus ribu rupiah dan sebagainya. Kemudian adat nan diisi, limbago nan dituang nak tuah batabuah omeh adalah dengan balabuah ka Balai Balerong adat yang disebut dengan adat labuah secukupnya dengan mempedomani ketentuan yang telah disepakati oleh para pemangku adat dalam nagari yang bersangkutan. Dan terakhir adat nan diisi limbago nan dituang adalah di diateh Balai Adat tando badiri adat sapokat nagari ( kasudahan adat ka Balerong), adat tersebut dinamakan dengan adat Tambang, misalnya seharga 40 gantang beras, satu emas, empat ratus ribu rupiah dan sebagainya. Sedangkan adat untuk mengadakan jamuan minum makan atau yang dikenal dengan Baralek Panghulu tidak merupakan persyaratan yang diwajibkan melainkan digolongkan kepada yang sunat, sebab kaum tersebut telah memiliki adat kesempurnaan kaum dan gelar pusako kaum itu digantikan dalam jangka waktu yang telah dirumuskan.
Bila kesepakatan dan persyaratan adat nan ka diisi limbago nan kadituang tidak dapat dilengkapi dalam ukuran masa waktu yang telah dirumuskan para pemangku adat salingka nagari, oleh kaum yang akan menggantikan gelar pusako tersebut, maka gelar pusako kaum itu dinamakan dengan “ Tarandam”. Sehingga untuk memakai gelar itu kembali dinamakan dengan Mambangkik Batang Tarandam.
Persamaan antara godang dipakuburan dengan godang ditanah tasirah adalah;
- Godang dipakuburan dengan godang ditanah tasirah sama-sama digolongkan kepada menggantikan gelar pusako.
- Godang dipakuburan dengan godang ditanah tasirah memiliki persyaratan yang sama sesuai dengan adat salingka nagari
- Godang dipakuburan dengan godang ditanah tasirah sama-sama memiliki jangka waktu yang sama dalam melengkapi segala persyaratan.
Perbedaan Godang dipakuburan dengan godang ditanah tasirah;
1. Gelar kebesaran Godang dipakuburan dimulai dan harus dilewakan dipandam pakuburan, sedangkan godang ditanah tasirah tidak harus dilewakan dipandam pakuburan.
2. Kesepakatan kaum godang dipakuburan dilakukan sebelum ditanamnya mayat seseorang yang menjujung gelar pusako dimakamkan dipandam pakuburan, sedangkan godang ditanah tasirah dilakukan kesepakatan kaum setelah kembali dari pandam pakuburan selagi masih merahnya tanah dipandam pakuburan.
Ad. 6 Godang Batungkek Bodi.
Gelar pusako suatu kaum ada yang dikenal dengan Godang Batungkek Bodi, yaitu merupakan suatu cara menggantikan kagodangan/keberadaan seseorang pemangku adat/pangulu yang memangku jabatan soko itu dilewakan dalam masa masih disebut-sebutnya budi dari pemangku adat yang telah meninggal. Jadi kata bodi merupakan suatu kata yang diartikan budi,maka disebut pula dengan sebutan Mati Batungkek Budi.
Disamping itu terjadinya godang batungkek budi ini adalah apabila dari anggota kaum yang punya gelar pusako tidak memiliki persyaratan untuk dapat gelar pusako kaumnya digantikan karena tidak ada yang laki-laki atau tidak ada yang baliq berakal, sedangkan kaum induk dari kaum tersebut ada yang laki-laki dan dia tidak menjujung gelar, maka kaum induk menawarkan jasa untuk memakai gelar pusako, arti kata terjadilah kesepakatan untuk memakai gelar pusako kaum yang tidak memiliki persyaratan ini untuk dipakai oleh kaum induknya, maka keberadaan gelar pusako yang dijujung/dipakai oleh kaum induk tersebut dinamakan dengan Godang Batungkek Budi (Mati Batungkek Budi).
Jangka waktu atau ukuran masa bolehnya gelar pusako kaum itu dipakai/digantikan dirumuskan oleh para pemangku adat salingka nagari. Biasanya berawal dari pemahaman tentang arti budi, jadi selama budi dan sebutan seorang pangulu itu masih harum atau masih disebut-sebut oleh orang akan gelarnya yang kita sebut dengan soko, maka sebutan itu merupakan sebutan tentang budi,yang jangka waktunya menurut kebiasaan orang menyebutnya dalam masa tujuh hari bahkan ada yang lebih sampai sebulan dan sebagainya. Namun pada umumnya tujuh hari sampai dua puluh satu hari, satu bulan sampai tiga bulan. Dalam masa itulah segala persyaratan adat diisi limbago dituang untuk dapatnya digantikan gelar pusako kaum dan resmilah orang yang menjujung gelar itu, memakai gelar pusako dari kaum tersebut.
Sama halnya dengan godang dipakuburan adat nan di isi, limbago nan dituang di korong kampuang di kerapatan suku adalah Adat Asok obuak Tenggekkan Detar dengan ukuran yang telah ditetapkan oleh para pemangku adat dinagari yang bersangkutan, misalnya kupang piak atau seharga lima gantang beras, seharga Limapuluh ribu rupiah, seratus ribu rupiah dan sebagainya. Kemudian adat nan diisi, limbago nan dituang nak tuah batabuah omeh adalah dengan balabuah ka Balai Balerong adat yang disebut dengan adat labuah secukupnya dengan mempedomani ketentuan yang telah disepakati oleh para pemangku adat dalam nagari yang bersangkutan. Dan terakhir adat nan diisi limbago nan dituang adalah di diateh Balai Adat tando badiri adat sapokat nagari ( kasudahan adat ka Balerong), adat tersebut dinamakan dengan adat Tambang, misalnya seharga 40 gantang beras, satu emas, empat ratus ribu rupiah dan sebagainya. Sedangkan adat untuk mengadakan jamuan minum makan atau yang dikenal dengan Baralek Panghulu tidak merupakan persyaratan yang diwajibkan melainkan digolongkan kepada yang sunat, sebab kaum tersebut telah memiliki adat kesempurnaan kaum dan gelar pusako kaum itu digantikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Ad. 7 Godang Bakarelaan.
Godang bakarelaan adalah suatu cara menggantikan keberadaan gelar pusako suatu kaum yang digantikan oleh salah seorang anggota kaumnya selagi yang menjujung gelar pusako sebelumnya masih hidup, sehingga dinamakan juga dengan “ Hiduik Bakarelaan”.
Terjadinya godang bakarelaan ini juga atas dasar mufakad dari seluruh anggota kaum, dan keberadaan dari orang yang menjabat/menjujung gelar pusako sebelumnya telah lanjut usia, sehingga tidak sanggup lagi untuk menjalankan tugasnya sebagai pemimpin untuk memimpin anak kemenakan korong dan kampuang, koto dan nagari, hal tersebut dinamakan dalam adat:
“ Bukik lah taraso tinggi,
Lurah lah taraso dalam,
Adat indak taiisi,
Limbago indak dituang”
Maka penghulu yang bersangkutan harus mengajukan permohonan untuk dapat digantikan oleh yang lain, setelah adanya kesepakatan dari penghulu yang pertama untuk digantikan oleh seorang dari kaum tersebut. Permohonan tersebut disampaikan kepada penghulu-penghulu yang bertalian adat dalam pasukuan yang bersangkutan, nan saadat salimbago, nan sahino samalu. Kemudian baru mengajukan permohonan itu kepada penghulu keEmpat Suku dari pasukuan yang bersangkutan, memohon supaya jabatan penghulu yang dipankunya digantikan oleh anak kemenakan atau warih batali darah yang telah ada kebulatannya tadi. Kerapatan suku yang dipimpin oleh penghulu keEmpat Suku akan mengadakan penelitian tentang permohonan tersebut dan meneliti calon yang dikemukakan oleh kaum tadi, sifat-sifatnya, kejujurannya dan keberadaannya di tengah-tengah kaum, korong kampuang, koto jo nagari sarato masyarakat bangsa dan negara.
Dengan dasar pertimbangan keutuhan niniak dalam pasukuan dan kerapatan adat nagari sehingga tidak menjadi kekosongan jabatan dan tugas, maka hal ini dapat dikabulkan namun untuk melihat akan kerelaan dari pemangku adat sebelumnya untuk digantikan selagi dia masih hidup ini, maka kaum tersebut diwajibkan mengadakan jamuan minum makan artinya harus Baralek Panghulu. Disamping itu bertujuan untuk dapatnya diketahui oleh orang banyak dan panghulu-panghulu dinagari bahwa gelar pusako dari kaum yang bersangkutan telah digantikan oleh yang lebih muda (baru).
Godang bakarelaan adalah pengecualiaan dari kagodangan panghulu yang digolongkan pada sifat menggantikan, karena harus mengadakan jamuan minum makan (Baralek Panghulu). Sedangkan kagodangan panghulu yang digolongkan kepada menggantikan lain dari godang bakarelaan tidak diwajibkan untuk mengadakan Baralek Panghulu.
Dari tujuh kagodangan panghulu tersebut diatas digolongkan kepada dua :
1. Gelar Pusako kaum yang sifatnya membangun.
2. Gelar Pusako kaum yang sifatnya menggantikan.
Sifat Kagodangan Panghulu /Gelar Pusako |
No. | Sifat Membangun | Sifat Menggantikan |
Ket. |
1 | Godang Dikato Nan Baru | Godang Mangombang nan Balipek |
|
2 | Godang Basiba Baju | Godang di Pakuburan / Godang di Tanah Tasirah |
|
3 | Godang Mambangkik Batang Tarandam | Godang Batungkek Budi |
|
4 | - | Godang Bakarelaan. |
|
Rukun yang melengkapi syarat dalam membangun dan menggantikan gelar pusako:
No. | Membangun Gelar Pusako | Menggantikan Gelar Pusako | Ket. |
1 | Niat | Niat |
|
2 | Kesepakatan kaum | Kesepakatan kaum |
|
3 | Kesepakatan Panghulu-Panghulu di nagari | Kesepakatan Panghulu- Panghulu di nagari |
|
4 | Adat di isi, Limbago dituang | Adat di isi Limbago di tuang |
|
5 | Baralek Panghulu | - |
|
Tugas:
- Jelaskan apa yang dimaksud dengan ?
- sako
- pusako
- sangsako
- Apa yang dimaksud dengan sako totap?
- Apakah yang dimaksud dengan Godang Kato Nan Baru Nan Manggungguang Mambao Tabang
- Jelaskan maksud dari membangun gelar pusako dan menggantikan gelar pusako
- Tulis proses kesepakatan kaum nan godang di pakuburan,
- Tulis proses penetapan aturan penggantian panghulu godang ditanah tasirah,
- Jelaskan maksud dari:
- darah samo dikacau
- tanduak samo ditanam
- dagiang samo dilapah
- tabuah jumaat panyudahi.
- Apa yang dimaksud dengan :
a. Basiba Baju Godang Manyusu
b. Basiba Baju Godang Manyimpang
Arti/makna dari beberapa filosofi adat:
- Maksud tabuah jumaat panyudahi,
a. Akhir dari baralek panghulu, atau penutup dari rangkaian acara alek.
b. Baralek panghulu memakan waktu yang lama, tidak cukup satu hari
c. Baralek panghulu jangan sampai meninggalkan ibadah/sholat.
- Sako totap,
a. Tidak berpindah pindah kepada kaum lain
b. Turun tamurun dari niniak kepada mamak dari mamak kepada kemenakan
dan seterusnya,
c. Tetap ada selama kaum itu ada.
- Pusako bailiran,
a. Pusako/Harta memiliki iliran waris
b. Pusako akan diwarisi oleh warih sesuai dengan aturan,
- Warih nasab dan sabab,
a. warih nasab adalah warih batali darah menurut garis keturunan ibu
b. warih sabab adalah warih yang timbul apabila warih nasab tidak ada yang
terdiri dari sabab batali adat, sabab batali budi, sabab batali buek.
- Darah samo dikacau,
a.Menyembelih kerbau
b.Menyembelih kerbau disaksikan secara bersama-sama.
- Dagiang samo dilapah,
a. Makan bersama
b. makam bajamba
c. makan baralek panghulu
- Tanduak samo ditanam
a. dijadikan lambang kebesaran
b. lambang kemenangan
c. lambang kekuatan.
- Panghulu saandiko,
a. panghulu sabuah hukum
b. panghulu memiliki kesatuan hukum yang sama
c. panghulu ada atas kesepakatan bersama
- Ulamo samo sakitab,
a. ulama memiliki pedoman/aturan/kitab yang sama
b. ulama sama mencegah perbuatan maksiat
c. ulama sama menganjurkan perbuatan yang baik
- Sangsako pakai mamakai
a. gelar kebesaran dapat pindah kepada seseorang / suatu kaum kepada
orang/kaum lain.
b. gelar/jabatan dapat pindah manuruik mungkin nan jo patuik
c. tuah balega
d. godang bakisa.
- PUSAKO
Pusako adalah harta wilayah dari pemimpin suatu kaum yang memegang gelar pusako, seperti rumah gadang, sawah ladang, luak topian, pandam pakuburan, maupun taranak peliharaan, oleh karena itu pusako merupakan suatu modal dan areal wilayah dari seorang pemimpin yang memegang gelar pusako yang diterima secara turun temurun menurut garis keturunan ibu atau menurut sistim kekerabatan matrilinial.
Adanya harta pusako sebagai suatu areal pemimpin di Minangkabau memiliki suatu alur dan cara tersendiri baik dari diperdapatnya maupun dalam penggunaannya,oleh karena itu dikenal adanya harta pusako tinggi dan harta pusako rendah. Dimana kedua harta pusako tersebut merupakan pengelompokan yang akan menentukan pewaris dari harta pusako tersebut dibelakang hari setelah orang yang memiliki harta itu meninggal dunia.
- Harta Pusako Tinggi
Istilah harta pusako tinggi di Minangkabau adalah harta yang diterima secara turun temurun menurut garis keturunan ibu, diperdapat dengan tambilang bosi oleh nenek moyang mereka.
Harta Pusako tinggi yang diperdapat dan dimiliki oleh ahli waris yang telah ditentukan sepanjang aturan adat akan mendapatkan bagian dari masing-masing ahli waris yang dikenal dengan Ganggam Bauntuak. Dengan harta itulah mereka dapat membina kehidupan rumah tangga sebagai modal utama dalam menjalani hidup berkeluarga, dan setelah mereka menikah adanya usaha untuk mendapatkan suatu pekerjaan dan penghasilan sehingga mereka dapat merasa lebih bahagia. Bagian yang diterima oleh ahli waris laki-laki yang dibawanya untuk modal menjalani kehidupan rumah tangga atau berkeluarga dinamakan dengan harta bawaan.
- Harta Pusako Rendah.
Harta Pusako Rendah adalah harta pencaharian yang diperdapat dengan dibeli, yang dikenal dengan tembilang emas yaitu dibeli oleh suatu kaum kepada kaum lain dan oleh suatu keluarga atau seseorang kepada orang lain, terutama didapatkan pada waktu manusia itu telah berkeluarga (menikah). Disamping itu juga harta yang dihibah/hadiah dari seseorang kepada orang lain juga merupakan harta pusako rendah. Ahli waris dari harta pusako rendah dan cara perolehannya diatur sepanjang aturan yang diberlakukan oleh syarak.
Sako totap, pusako bailiran, artinya gelar pusako suatu kaum tetap silih berganti dalam lingkungan kaum tersebut sedangkan pusako bailiran adalah harta pusako itu memiliki tempat iliran disebut dengan warih (waris) yang telah ada aturan-aturan untuk dapat dipedomani dalam mewarisi harta pusako bila seseorang di Minangkabau telah meninggal dunia. Hal itu terungkap dalam ungkapan “ Pusako bailiran manuruik warih nan bajawek, pusako nan batolong”. Dengan demikian seseorang tidak dapat sewenang-wenang dalam mewarisi harta pusako karena telah ada aturannya, sehingga bermanfaat bagi manusia dalam kelangsungan hidup.
Harta Pusako Tinggi diwarisi oleh warih batali darah (Nasab) dan dapat diwarisi oleh warih batali sabab sedangkan Harta Pusako Randah akan diwarisi oleh anak cucu yang pengaturannya atau pembagiannya akan diatur sempura menurut hukum Faraid
A. Warih (Waris).
Menurut Adat Minangkabau warih terbagi kepada dua:
I. Warih Batali Darah ( Warih Nasab )
Warih batali darah atau warih batali nasap adalah orang-orang yang ditarik dari keturunan ibu ( bundo kanduang ), yaitu Urang Nan Jauah Buliah Ditunjuakan, Nan dakek Buliah dikatokan, Nan Sapayuang Sapatogak, Menurut adat warih nasap ini dibagi kepada dua:
1. Warih Nasap Nan Saluruah
Warih Nan Saluruah adalah Urang-Urang Nan Jauh Buliah Ditunjuakan, Nan Ampiang Buliah Dikatokan, Saluruah Kateh Saluruh Kabawah, Ompek Kateh, Ompek Kabawah. Artinya saluruh anggota kaum kemanakan, adik, kakak, cucu,piuk,ibu dan mamak.,atau laki-laki dan perempuan dalam lingkungan cupak adap Nan Sapayuang Sapatogak.
Dalam warih Nan Saluruah tersebut anggota dari kaum dapat mewarisi harta pusako maupun gelar, mako lahirlah kato pisako menurik adat Sako Buliah Disakoi, Pisako dapek Dipisakoi. Artinya Gelar Pusako dapek digontian harta pusako tinggi dapek diwarisi.
Saluruah pusako hutan tanah, sawah ladang, rumah tanggo, labuah tapian, pandam pakuburan, omeh perak nan marupokan harta dari kaum tersebut dipusakoi atau diterima secara turun temurun oleh anggota kaum laki-laki maupun perempuan tanpa ada kecualinya yang besifat Bungka Tak Bakapiang Minyak Tak Babagi, Sakutu Tak Babalan, Hak Bapunyo Ganggam Bauntuak.
2. Warih Nan Kabuliah.
Warih Nan Kabuliah adalah orang nan jauh Buliah Ditunjuakan dan Dakek Buliah Dikatokan nan barasal dari warih nan saluruah. Karena alam bakalebaran, anak buah bakambang biak, maka salah seorang atau beberapa orang dari kaum nan saluruah pindah ke tempat lain melanjudkan keturunan. Kaum yang pindah dari kaum asalnya ke nagari lain melanjudkan keturunan serta mempunyai harta manaruko sawah jo ladang, mambuek rumah jo tanggo, mambuek labuah jo tapian, mancari pandam pakuburan sehingga telah menjadi kaum yang telah banyak pula jumlah dari anggota kaum itu.
Untuk memimpin angggota kaum yang pindah ini dengan kata mufakat dari kaum yang bersangkutan dan seizin dari sagalo niniak mamak pangulu nan dinagari yang baru didiami, maka didirikan pula suatu gelar atau soko untuk memimpin kaum yang telah berkembang tadi dan memelihara harta pusaka yang ada disitu. Maka kaum yang pindah kanagari lain untuk melanjudkan keturunan untuk melangsungkan penghidupan tersebut disebut warih nan kabuliah dari kaum asalnya. Dan sebaliknya kaum asal itu juga warih nan kabuliah dari kaum yang pindah ini kalau seandainya nanti salah satu dari kaum tersebut punah.
Untuk membuat gelar pusako di kampuang nan baru ditopoti, dihuni atau didiami oleh kaum tersebut, maka gelar dari kaum asalnya dibawa pangkal atau ujung nama dari gelar kaum asal, semisal DT. Bandaro Lelo ditempat yang kedua disebut DT. Siri Bandaro. Dan boleh pula tidak menambah gelar dari kaum asal, yang berarti sama betul gelarnya semisal disebut DT. Bandaro. Secara timbal balik kaum tersebut bila punah dapat menggantikan gelar pusako dan mewarisi harta pusako.Supaya jangan terjadi keraguan dibelakang hari maka adat berfatwa:
Jauh cinto mancinto jikok dakek jalang manjalang, supayo tali nak jan putuih supayo jajak nak jan lipuih, Jauah nan buliah ditunjuakkan,dakek nak buliah dikatokan, Mako tidak akan ragu dek banyak dan, tidak akan lupo karano lamo.
Mako dalam adat cara yang seperti itu disebut panjang nan bakaratan,laweh nan basibiran kanagori lain, nan disabuik pulo dalam adat dengan sebutan Babalahan.
II.Warih Batali Sabab.
Warih batali sabab adalah urang-urang nan dapek mawarisi harta pusako dari suatu kaum dikarenakan sesuatu sabab. Tapi tidak dapat mewarisi gelar dari kaum itu, karena telah punah atau karena tidak sapayung sapatogak, atau tidak sakaturunan. Menurut alua pusako warih batali sabab tidak dapat mewarisi atau menggantikan gelar pusako tapi boleh mewarisi dari harta pusako.
“ Soko tak dapek disokoi
Pusako Buliah dipusokoi”
Jadi alua pusako tersebut merupakan aturan yang memuat bahwa gelar pusako tidak dapat digantikan tapi harta pusako dapat diwarisi oleh kaum warih batali sabab. Maka Harta pusako tinggi, sawah ladang, hutan tanah, rumah gadang, pandam pakuburan, labuah tapian dapat diwarisi oleh waris sabab, manuruik alua, mungkin jo patuik.
Warih batali sabab ini terbagi atas tiga :
1.Waris Sabab Batali Adat
2.Waris Sabab Batali Budi
3.Waris Sabab Batali Buek
Ad.1. Warih Sabab Batali Adat
Warih batali sabab adalah suatu kaum yang dapat menerima dan mewarisi harta pusako karena disebabkan batali adat. Tali adat yang dimaksudkan adalah kesatuan hukum yang diikat oleh :
- Sakorong sakampuang
- Saadat salimbago
- Sahino samalu,
- Salabuh satapian
- Sapandam pakuburan
Misalnya dalam suatu kampuang ada dua gelar pusako (sako), dan keduanya gelar pusako tersebut mempunyai Nan mempunyai wulayat dan harta pusako masing-masing. Umpamanya Dt. Rajo Elok dengan Dt. Marajo Nan Elok. Mereka itu seadat salimbago, sahino samalu, sakorong sakampung, sapandam pakuburan. Mako tali adat itu dapat mewarisi harta pusako dari masing-masing kaum kalau salah satu dari kaum tersebut punah, kaum nan hampia itu dalam adat disebut :
“ Nan bajari,
Nan Batampek,
Nan Baeto,
Nan Badopo
Manuruik Alua
Mungkin Jo Patuik ”
Dengan demikian ukuran yang dipedomani dalam menentukan panghulu yang merupakan tali adat itu adalah;
1. Korong Kampuang, Suku Pasukuan
2. Rumah Gadang
3. Pandam Pakuburan
4. Sawah jo Ladang
Ad.2. Warih Sabab Batali Budi
Warih sabab batali budi adalah warih yang disebabkan karena jasa dan budi dari orang memiliki hubungan dengan orang yang meninggal semasa masih hidup. Dengan demikian orang yamng memiliki hubungan jasa dan budi dengan almarhum seorang panghulu semasa masih hidup sebelum meninggal adalah isteri dan anak-anak.
Keberadaan isteri dan anak-anak seorang Panghulu yang telah punah adalah warih batali budi yang sama kedudukannya dengan warih batali adat. Isteri dan anak itulah yang selalu mendampingi seorang panghulu diwaktu masih hidupnya dikala sehat maupun sakit, susah maupun derita, dirumah maupun dirumah sakit dan sebagainya. Panghulu dengan Isteri dan anak-anak diikat dengan rasa dan kasih sayang yang sangat dalam dan tidak akan terputus sedemikian rupa, apalagi anak yang jelas memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan oleh waktu, lorong, ruang dan tempat, anak akan tetap anak sampai hari kemudian dan hubungan warih tidak akan terputus terkecuali mereka tidak seakidah/seagama.
Ad.3. Warih Batali Buek.
Warih batali buek adalah seseorang atau beberapa orang maupun suatu kaum yang ditunjuk oleh seorang panghulu yang akan punah sebelum meninggal dunia untuk menjadi warih dari harta pusako tinggi yang dimilikinya. Jadi warih batali buek adalah warih yang dibuat oleh seorang panghulu yang akan punah sebelum meninggal dunia, dikarenakan tidak ada isteri dan anak-anak yang akan memeliharanya dihari tua, sedangkan dia memerlukan orang yang akan memelihara dirinya, menjaga kesehatannya, menyiapkan makanan, pakaian, mengantar berobat maupun menemani dia dikala sakit baik dirumah maupun dirumah sakit. Disamping itu seorang panghulu yang punah merasa kasihan pada seseorang tersebut maka dijadikannya orang itu sebagai warih batali buek, untuk dapat mewarisi harta pusako tinggi yang ditinggalkannya nanti, maka dibuatlah suatu wasiat atau imanat baik secara tertulis maupun lisan oleh seorang panghulu sebelum meninggal.
Jadi keberadaan warih sabab batali adat, warih sabab batali budi, warih sabab batali buek adalah sama, mereka semua sama kedudukannya dan harus mendapatkan perlakuan dan hak yang sama, tidak boleh dibedakan satu sama lain, sebab sudah jelas adat Minangkabau sudah menegaskan bahwa warih sabab itu ada tiga bukan satu, yaitu sabab batali adat, sabab batali budi, sabab batali buek. Minimal bila seorang panghulu punah warih sabab itu ada dua. Begitupun warih nasab bila seorang panghulu memiliki kemekanan tiga, maka ketiganya harus medapatkan perlakuan dan hak yang sama, tidak kemenakan yang tua saja yang mendapatkan bagian.
- SANGSAKO
Sangsako adalah gelar kebesaran, yaitu suatu gelar yang diberikan pada seorang pemimpin karena keahliannya, kepintarannya, ilmu, jasa dan budi yang dimilikinya dan hal tersebut dapat dirasakan akan manfaatnya oleh kaum, kampuang, koto, dan nagari Ranah Minangkabau.
Gelar kebesaran tersebut tumbuh dan diberikan berdasarkan kesepakatan kaum dan para pemimpin kaum dengan mempedomani tatanan nilai dan norma adat istiadat yang berlaku dilingkungan nagari di Minangkabau. Gelar kebesaran tersebut disesuaikan dengan ilmu, keahlian dan kepintaran, jasa dan budi serta manfaatnya untuk kaum dan nagari, sehingga gelar kebesaran tersebut ada yang disebut sangsako kaum, sangsako suku, sangsako nagari, sejalan dengan itu ada yang berkaitan dengan kepemimpinan itu sendiri yang dinamakan dengan sangsako kepemimpinan. Maka dikenallah diranah alam Minangkabau sebutan Datuak, Surambi, Kaampek Suku, Pucuak Adat, Raja. Maha Raja, Raja Diraja, dan Maha Raja Diraja, sebagai gambaran adanya sangsako (gelar kebesaran).
Sangsako pakai mamakai artinya gelar kebesaran itu silih berganti dari seseorang kepada orang lain, dari suatu kaum kepada kaum lain berdasarkan mungkin nan jo patuik menurut aturan nilai adat istiadat yang berlaku dilingkungan wilayah nagari di Minangkabau sehingga diharapkan pemimpin dengan kaum saling bantu membantu dalam mewujudkan kehidupan yang bahagia, adil dan makmur, tenteram dan damai diranah Minangkabau.
- NORMA ADAT
Manusia yang dibekali dengan dua unsur rohani dan jasmani, nafsu dan akal selalu silih berganti menguasai kehidupan manusia itu sendiri, sehingga manusia kadang bertindak benar kadang bertindak salah, untuk itu perlu adanya aturan-aturan yang dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan aktifitas kehidupan manusia itu sendiri. Maka di ranah Minangkabau dikenal aturan itu dengan norma, ada norma agama, norma adat, norma susila, dan norma hukum.
1. Norma Agama
Norma agama adalah aturan-aturan yang mengatur sikap dan tingkah laku manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya yang berasal dari Zat Yang Maha Tunggal Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk keselamatan kehidupan manusia dari dunia sampai keakhirat kelak. Dalam agama Islam aturan itu tertuang dalam Al Qur’an dan Sunnah.
2. Norma Adat
Manusia memiliki kebiasaan dalam melakukan sesuatu aktivitas dan mereka memiliki hak dan kewajiban yang pada hakekatnya sama, untuk itu manusia merumuskan aturan-aturan tentang sikap dan tingkah laku kehidupannya sendiri dengan tujuan supaya tidak melanggar hak dan kewajiban orang lain yang berada disekitarnya. Ada aturan itu dibuatnya sendiri untuk dirinya dan ada aturan itu dibuatnya untuk anggota keluarganya dan ada aturan itu untuk manusia dalam suatu wilayah tertentu.
Norma adat adalah merupakan aturan sikap dan tingkah laku manusia yang dirumuskan dan diberlakukan oleh manusia dalam suatu wilayah nagari tertentu. Dimana aturan-aturan itu ada yang berisi tentang sikap dan tingkah laku yang baik disebut dengan “Cupak” dan ada aturan itu berisi tentang sikap dan tingkah laku yang tidak baik disebut dengan “Undang”.
Cupak adalah pakaian yang disenangi dan undang adalah pakaian yang dikebenci oleh orang Minangkabau. Dikatakan cupak pakaian yang disenangi karena cupak berisi tentang aturan-aturan sikap dan tingkah laku yang baik-baik, sedangkan undang disebut dengan pakaian yang dikebenci karena undang itu berisi aturan sikap dan tingkah laku yang tidak baik.
Dengan adanya dua bentuk aturan diatas yaitu cupak dan gantang, maka aturan-aturan adat yang berisi tentang sikap dan prilaku yang baik digolongkan kedalan cupak semisal:
a. Undang-Undang Nagari
b. Undang-Undang Dalam Nagari
c. Undang-Undang Luak
d. Undang-Undang Rantau.
Disamping itu sikap dan prilaku manusia yang tidak baik termasuk sangsi atau hukuman tentang prilaku yang tidak baik itu dimasukan kepada Undang, semisal;
a. Undang-Undang dua puluh.
b. Hukum: - ilmu
- Fiil (kurena)
- Bainah (sumpah)
- Buang
- Hutang
- Perdamaian
3. Norma Susila
Norma susila adalah aturan sikap dan tingkah laku manusia yang berasal dari dalam diri manusia sendiri berupa bisikan dari hati nurani manusia tentang sesuatu yang baik harus dikerjakan dan tentang sesuatu yang tidak baik yang harus ditinggalkan.
Pelanggaran terhadap norma susila merendahkan akan harkat dan martabat manusia, manusia akan dianggap sebagai manusia yang tidak bermoral dan berbudi pekerti luhur, karena ajaran tentang susila pada dasarnya merupakan ajaran yang menyangkut tentang moral dan budi pekerti yang sangat erat hubungannya dengan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Untuk dapatnya manusia memahami dan menghayati akan norma susila,manusia harus mengetahui akan keberadaan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Harkat manusia adalah keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan YMK yang memiliki tiga dimensi harkat:
a. Manusia sebagai makhluk individu
b. Manusia sebagai makhluk sosial
c. Manusia sebagai makhluk tertinggi.
Martabat manusia merupakan kedudukan atau tingkatan harkat manusia. Pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk yang suci tidak berdosa namun diri manusia itu sendirilah yang menyebabkan manusia merusak dan menodai keberadaannya sebagai manusia yang suci dan berbudi, sehingga terdapatlah ada manusia yang dapat mempertahankan keberadaan martabatnya seperti semula sesuai dengan harkatnya, maka manusia itu memiliki martabat yang tinggi dam luhur, namun bila manusia tidak dapat menempatkan dirinya sesuai dengan harkatnya maka martabat manusia akan menjadi rendah. Jadi yang menyebabkan tinggi dan rendahnya martabat manusia adalah kemampuan manusia itu dalam menempatkan dirinya sesuai dengan harkatnya.
4. Norma Hukum
Norma hukum adalah aturan tentang sikap dan tingkah laku manusia yang dirumuskan oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dimana kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang hidup saling keterkaitan dan ketergantungan antara satu sama lain dalam suatu himpunan manusia yang disebut dengan bangsa, mengharuskan manusia memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi sehingga dapat mewujudkan kehidupan manusia sebagai warganegara yang baik.
Untuk menjaga dan memelihara para pemimpin dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan negara supaya jangan bertindak sewenang-wenang,maka dalam suatu negara harus ada pemisahan/ pembagian kekuasaan negara pada tiga bagian yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Lembaga negara yang melaksanakan dan merumuskan peraturan dan perundang-undangan (norma hukum) yang diberlakukan dalam negara disebut dengan lembaga legislatif. Sedangkan eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan dan yudikatif merupakan lembaga yang mengawasi dan memeriksa pelanggaran dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan negara
Dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil, makmur, tentram dan damai, sehingga ranah wilayah Minangkabau menjadi wilayah yang nyaman dan disenangi, maka manusia dan seluruh anak nagari Minangkabau harus mengetahui akan segala bentuk undang-undang, dan tananan nilai budayanya serta para pemimpin/panghulu harus benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai panghulu.
A. Undang-Undang Dalam Nagari
Undang-undang dalam nagari adalah ketentuan tentang aturan hidup masyarakat di dalam lingkungan kesatuan masyarakat hukum adat, yaitu nagari, agar tercipta ketertiban dan keamanan, rasa hormat-menghormati, tolong menolong, kasih-mengasihi, saling tenggang rasa sebagai berikut :
1) Bidang Sosial
Sasek suruik talangkah kembali,
Salah ditimbang utang dibaia,
Salah catok malantiangkan,
Salah ambiak mengumbali,
Utang dibaia piutang ditarimo,
Saliang mangumbalikan.
Barek samo dipikua,
Ringan samo dijinjiang,
Ka bukik samo mandaki,
Ka lurah samo manurun.
Alek bapanggia,
Mati bajirambok,
Nan elok baimbauan,
Nan buruak bahambauan,
Tatungkuik samo makan tanah,
Tatilantang samo minum ambun,
Tarapuang samo hanyuik,
Kok tarandam samo basah.
Nan senteang dibilai,
Nan singkek samo diuleh,
Nan kurang samo ditukuak,
Rusuah samo dibujuak,
Tagamang samo dijawek.
Mandapek samo balabo,
Kailangan samo marugi,
Nan tuo dihormati,
Samo gadang baok bakawan,
Ibu bapo labiah sakali,
Labiah guru nan maaja.
Kamanakan saparentah mamak,
Mamak saparentah bana,
Mamak manyambah di batin,
Kamanakan manyambah di lahia.
Arti pepatah diatas secara umum ialah bahwa ajaran adat itu menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebersamaan, hormat menghormati, harga-menghargai, tolong menolong, bantu-membantu, kok gadang tidak melendo, kok panjang tidak malindih, kok tinggi tidak mahimpok. Menjunjung tinggi sifat kegotongroyongan, berkoperasi dalam pekerjaan bersama, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya.
2) Bidang Ekonomi
Sasukek duo baleh taiah,
Dicupak mako digantang,
Nan lunak ditanam baniah,
Nan kareh dibuek ladang.
Nan bancah palapeh itiak,
Ganangan ka tabek ikan,
Bukik batu ka tambang ameh,
Padang ana bakeh taranak,
Batanam nan bapucuak,
Mamaliharo nan banyawa,
Ka sawah babungo padi,
Ka rimbo babungo kayu,
Ka sungai babungo pasie,
Ka lawik babungo karang,
Ka tambang babungo ameh,
Dek ameh sagalo kameh,
Dek padi sagalo jadi,
Elok lenggang di nan data,
Rancak rarak dihari paneh,
Ilang rono dek panyakik,
Ilang bangso tak barameh,
Kok duduak marawik ranjau,
Jikok tagak maninjau jarak,
Hari sahari diparampek,
Malam samalam dipatigo.
Namuah bajariah bausaho,
Namuah bapokok babalanjo,
Asa lai angok-angok ikan,
Asa lai jiok-jiok patuang,
Nan indak dicari juo.
Arti pepatah-petitih diatas mengandung ajaran betapa pentingnya prinsip ekonomi bagi kehidupan, baik secara perseorangan maupun secara bermasyarakat dan bangsa. Kehidupan ekonomi akan menjamin ketenteraman rumah tangga dan masyarakat.
3) Bidang Pertahanan
Raso aia ka pamatang,
Raso minyak ka kuali,
Nan bakabek rasan tali,
Nan babungkui rasan daun.
Cadiak di kampuang kampuang patahankan,
Cadiak suku suku patahankan,
Cadiak nagari nagari patahankan,
Cadiak bangso bangso patahankan.
Tarapuang samo hanyuik,
Tarandam samo basah,
Parang pusako samo dilipek,
Parang samun samo diadoi.
Kok dianjak urang batu pasupadan,
Diubah urang kato pusako,
Dirubah kato nan bana,
Nan condoang ditariak urang,
Nan lamah dititih urang,
Dijajah urang tumpah darah.
Busuangkan dado ang buyuang,
Caliakkan tando laki-laki,
Jan cameh darah taserak,
Usah takuik nyawo malayang,
Basilang tombok dalam parang,
Sabalun aja bapantang mati,
Baribu sabab mandatang,
Namun mati hanyo sakali.
Arti pepatah-petitih diatas bahwa setiap pribadi laki-laki, perempuan, mempunyai tanggungjawab mempertahankan setiap jengkal tanah pusaka bangsa dari setiap penjajah yang ingin menguasainya. Begitupun dari pihak-pihak yang ingin mengubah kata pusaka, yakni Pancasila Dasar Negara dan ingin mengubah dasar-dasar kebenaran yang dilahirkan oleh kesepakatan bersama dalam permusyawaratan perwakilan.
4) Bidang Hukum
Kusuik disalasaikan,
Karuah dijaniahkan,
Usua dipamainkan,
Cabua dibuang.
Hukum adia kato bana,
Indak buliah bapihak-pihak,
Indak buliah bakatian kiri,
Luruih bana dipegang sungguah.
Dimato jan dipiciangkan,
Di dado jan dibusungkan,
Diparuik nan usah dikampihkan,
Sifat dia dipakaikan.
Bak maelo rambuik dalam tapuang,
Bak mamalu ula dalam baniah,
Baniah tak leco, tanah tak lambang,
Panokok tak patah, nan ula mati juo.
Salah catok malantiangkan,
Salah ambiak mangumbalikan,
Salah ka manusia mintak maaf,
Salah ka Tuhan mintak tobat.
Kusuik bulu parua manyalasaikan,
Kususi banang dicari ujuang jo pangka,
Kusuik rambuik dicari sikek jo minyak,
Kusuik sarang tampuo, dibanam dalam aia,
Dan sebagainya.
Arti pepatah-petitih diatas bahwa ketentuan adat tentang setiap sengketa yang terjadi, baik dalam keluarga maupun dengan orang lain, harus diselesaikan secara adil. Adat mengingatkan agar setiap yang berwenang dalam bidang hukum ini benar-benar bersifat adil dalam melaksanakan penyelesaian dan tentang hukum yang akan dijatuhkan. Ajaran syarak mengatakan ; kalau menghukum antara sesama manusia, maka hendaklah dihukum dengan seadil-adilnya.
5) Bidang Agama
Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah telah menjadi falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Semenjak berabad-abad yang lalu orang Minangkabau telah memeluk agama Islam sehingga dalam diri orang Minangkabau antara adat dan agama Islam merupakan pengamalan yang terpadu dan menyatu. Untuk hal yang demikian fatwa adat mengatakan :
Si muncak mati tarambau,
Ka ladang mambaok ladiang,
Luko lah pao kaduonyo.
Adat jo syarak di Minangkabau,
Ibarat aua jo tabiang.
Sanda manyanda kaduonyo.
Pariangan manjadi tampuak tangkai,
Pagaruyuang pusek Tanah Data,
Tigo Luhak rang mangatokan,
Adat jo syarak kok bacarai,
Tampek bagantuang nan lah sakah,
Bakeh bapijak nan lah taban.
Tasindorong jajak manurun,
Tatukiak jajak mandaki,
Adat jo syarak kok tasusun,
Bumi sanang padi manjadi.
Gantang di bodi caniago,
Cupak di koto piliang
Dunia sudah kiamat tibo,
Labuah luruih jalan basimpang.
Limbago jalan batampuah,
Itu nan utang niniak-mamak,
Sarugo diiman taguah,
Narako di laku awak,
Dan sebagainya.
Pepatah-petitih diatas adalah ketentuan adat tentang berjalinnya adat dan agama Islam di Minangkabau yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya, ibarat kuku dengan daging, kuat menguatkan. Karenanya adat minangkabau menjadikan agama Islam sebagai sendinya, seperti yang disebutkan dalam pepatah ibarat :
Rumah gadang basandi batu,
Kuat rumah karano sandi,
Rusak sandi rumah binaso,
Adat basandi syarak,
Syaraka basandi Kitabullah (Alqurabul Karim)
Eratnya hubungan agama Islam dalam diri orang Minangkabau akan terlihat pada syarat nagarinya yang melambangkan babalai-bamasjid. Begitupun lambang Daerah Propinsi Sumatera Barat sebagai bagian dari Republik Indonesia melambangkan rumah adat Minangkabau dan di bawahnya tiga gelombang air, yang mencerminkan dinamika kehidupan dan menjunjung tinggi prinsip musyawarah mufakat. Bintang di puncaknya melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Segi lima yang melingkarinya melambangkan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia.
B. UNDANG-UNDANG DUA PULUAH
Undang-undang dua puluah menurut adat Minangkabau adalah ketentuan adat untuk menyatakan perbuatan, tingkah laku yang sumbang dan yang salah sehingga mengakibatkan tindakan hukuman dan ketentuan yang menyatakan kesalahan yang terjadi ,pelanggaran kejahatan, dan penganiayaan.
Undang-Undang Dua Puluh terdiri dari Undang-Undang Dua Belas dan Undang-Undang Delapan. Dua Belas macam itu disebut dalam ketentuan Adat:
Undang-Undang Dua Belas (tuduah nan bakatunggangan),ialah:
Anggang lalu atah jatuah,
Pulang pagi babasah-basah,
Bajalan bagageh-gageh,
Kacondongan mato rang banyak,
Di baok ribuik dibawok angina,
Dibaok pikek dibaok langou,
Tasindoroang jajak manurun,
Takukiak jajak mandaki,
Bajua bamurah-murah,
Batimbang jawab ditanyoi,
Allah bauriah bak sipasin,
Lah bajajak nan bak bakiak.
Undang-Undang Delapan (cemooh nan bakaadaan) menyatakan nama kejahatan yang dilakukan:
Dago dagi mamabari malu,
Sumbang salah laku parangai.
Samun saka tagak di bateh,
Umbuak umbi budi marangkak.
Curi maliang taluang dindiang,
Tikam bunuah padang badarah.
Sia baka sabatang suluah,
Upeh racun batabuang sayak.
Undang-Undang Dua Puluah ini biasanya dijadikan pedoman untuk menentukan hukum adat karna dalam Undang-Undang Dua puluh ini memuat semua perbuatan yang tidak terpuji, buruk/jahat yang dilakukan oleh manusia.
Undang-Undang Dua Belas berisi tentang sifat-sifat yang tidak terpuji yang digunakan un tuk menunduh dan mendakwa seseorang. Sedangkan Undang-Undang Delapan berisi tentang sifat perbuatan buruk yang bakaadaan bagi manusia.
C. HUKUM ADAT
Macam-macam hukum adat yaitu :
Para panghulu dan niniak mamak di Minangkabau harus memiliki ilmu terutama tentang adat jo syarak sehingga dia dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan ilmu yang dimilikinya dan melaksanakan hukum seadil-adilnya sesuai dengan ilmunya (Hukum Ilmu). Bila suatu sengketa terjadi, baik tentang perdata maupun kirminal, dan hakim mengetahui tentang duduk persoalan yang sebenarnya dengan pasti, maka hakim akan menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan ilmunya. Sekali-kali jangan bertentangan hukum atau keputusan yang diambil bertentangan dengan ilmunya sendiri, karena menurut adat, kalau akan menghukum suatu sengketa hukumlah dengan seadil-adilnya dan hukumlah dirimu lebih dulu.
a. Hukum Bainah. Bainah adalah bahasa arab, bahasa Indonesianya bersumpah . Seseorang hakim memutuskan suatu sengketa dengan melakukan putusan sumpah. Hukum sumpah adat, yaitu sewaktu membuat “batas” hak milik dengan orang lain, atau menurut adat pada waktu melakukan balicak pinang batapuang batu.
b. Hukum Kurenah. Seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan jalan berdasarkan kepada kurenah/tingkah laku yang terlihat pada air muka tertuduh, maupun yang menggugat dan data-data, fakta yang ditemui.
c. Hukum Perdamaian. Ialah hukum yang dilaksanakan keputusanya menurut adat, penyelesaiannya oleh ninik-mamak pemangku adat, tentang sengketa yang terjadi dalam suatu kelompok yang mempunyai hubungan kekeluargaan.
d. Hukum hutang. Ialah membayar upeti kepada nagari atau adat atas apa yang dia lakukan, seperti : Sapi,Kambing,Kerbau dan lain-lainnya
e. Hukum buang. Hukum buang ada beberapa macam yaitu:
Buang Bilah Buang Tikarang Buang Biduak
D. Cupak Adat
Cupak adalah ukuran yang dipergunakan sehari-hari di Minangkabau untuk penakar beras yang akan dimasak atau dijual. Cupak ini dalam pelaksanaannya adalah ukuran yang tidak boleh dilebihi dan dikurangi. Artinya, dilebih untuk kepentingan pribadi dan dikurangi untuk kerugian orang lain. Begitupun kalau dipergunakan untuk jual beli makanan diukur dengan cupak, gantang, atau dengan kilogram.
Cupak adat adalah ukuran tentang segala sesuatu tindakan manusia yang harus dilakukan, dilarang sungguh oleh ajaran adat dan agama Islam (syarak) melanggar aturan ketentuan cupak adat, seperti kata pepatah :
cupak pampeh gantang piawai,
cupak dua baleh taia,
gantang kurang dua limo puluah,
cupak tak buliah dilampawi,
barieh tak buliah dilabih-dikurangi
nan baukuah bajangkokan,
nan babarih babaleh,
taraju nan tidak bapaliangan,
bajanjang naiek batanggo turun,
hitam tahan tapo, putiah tahan sasah,
bungka ganok manahan asah,
ameh batuah manahan uji
bana nyato manahan bandiang,
maka di dalam adat cupak dijadikan ukuran dalam kehidupan bermasyarakat, yang mengatur dalam bidang hukum untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi sesama manusia, begitupun ukuran dalam memberikan arah dalam kehidupan sehingga mencapai tujuan yang sempurna dan terjaminnya keamanan dalam masyarakat. Cupak ini, harus dilaksanakan dengan sejujur-jujurnya, seperti kata pepatah :
kok maukuah samo panjang,
kalau menimbang samo barek,
jikok mambilai samo laweh,
indak buliah bapihak-pihak,
indak buliah bakatian kiri,
lurih bana dipegang sungguh,
di matao nan tidak dipincangkan,
di paruik nan tidak dikampihkan.
Artinya setiap sesuatu, baik tindakan dalam suatu pekerjaan maupun hukum dalam suatu persoalan, hendaklah dilaksanakan menurut semestinya dan dengan cara yang seadilnya.
a. Cupak usali (cupak asli) ialah sesuatu yang diumumkan pada hati manusia. Maksudnya ialah cara hakim menyelesaikan (menghukum) dalam suatu perkara yang timbul antara manusia, hendaklah dilaksanakan dengan seadil-adilnya, serta menuruti segala prosedur dan syarat yang mutlak dalam melaksanakan penyelesaian, dan seharusnya menurut alur dan patut.
Diasak layuah,
Dibubuik mati
Maka kalau menyelesaikan perkara hendaklah melaksanakan syarat-syarat seperti dakwa jawab, syahadad bainah, hukum hakim, cadhi dan benar, Setiap sesuatu hendaklah dilaksanakan dengan seadil-adilnya.
b. Cupak buatan adalah persekutuan yang memeberi kelezatan serta kesenangan kepada orang banyak. Maksudnya, sesuatu peraturan yang menguntungkan kepada umum dalam mencapai kesempurnaan hidup dan kehidupan, seperti melaksanakan peraturan adat Minagkabau yang kewi di dalam setiap aspek kehidupan dan mengerjakan serta mengamalkan ajaran agama Islam (Syarak). Seperti kata pepatah :
Gantang di bodi Caniago,
cupak dijadikan kasukatan,
adat mamakai syarak mangato,
ujuik satu balain jalan.
Gantang di Bodi Caniago,
Cupak di Koto rang Piliang,
Bumi sudah kiamat tibo,
Labuah luruih jalan basimpang.
Limbago jalan batampuah,
Itu nan hutang niniak-mamak,
sarugo di imam taguah,
naroko di laku awak.
c. Cupak tiruan ialah nafsu yang dibolehkan bagi setengah orang. Seperti kata adat :
Pakaian nan amat baiek,
Pakakeh alat pamenan,
Pakakeh alat mainan,
Isteri nan amat baiek.
d. Cupak nan piawai adalah sesuatu peraturan untuk memenuhi kebutuhan yang mutlak dalam kehidupan manusia, dan peraturan ini disukai oleh setiap orang, seperti kata adat
“Batanam nan bapucuak,
Mamaliharo nan banyawo,
Minum dengan makan,
Muluik manieh baso baiek.”
E. TUGAS PANGHULU
Secara umum ada empat macam tugas panghulu:
1. Manuruik alua nan luruih.
Artinya seprang panghulu dalam melaksanakan tugasnya harus meletakkan sesuatu pada tempatnya, dengan mempedomani empat macam ketentuan adat sebagai alurnya yaitu:
a. Kato Pusako
b. Kato Mufakad
c. Kato Dahulu
d. Kato Kamudian.
“ Nak luruih rantangkan tali, luruih manuruik barih adat, mamahek manuju barih tantang bana lubang katabuak, malantiang manuju tangkai tantang bana buah karareh, manabang manuju pangka tantang bana rueh karabah,, tantang sakik lakek ubek, tantang ukua mako dikarek, tantangan barih makanan pahek, dikapua-kapua lakek parmato”.
2. Manampuah jalan nan pasa.
Dalam filosofi adat disebutkan “ Jalan nan pasa nan kaditampua, labuah nan lorong nan kadituruik, jan manyimpang kiri jo kanan, condong jan kamari rabah, luruih manuruik barih adat, yakni “ kebenaran”.
Jalan nan pasa manuruik adat ada dua:
a. Jalan dunia, yaitu;
b. Jalan akhirat, yakni:
1. Beriman
2. Bertauhid
3. Berilmu
4. Beramal.
3. Mamaliharo Harta Pusaka.
Harta pusako harus dipelihara sebagaimana yang diamanatkan dalam filosofi adat yang berbunyi: “ Sawah ladang banda buatan, sawah batumpak dinan data ladang babidang dinan lereng, banda baliku turuik bukik, cancang latiah rang tuo-tuo, ush tajua tagadaikan, kalau sumbiang ditiak, patah ditimpo, hilang dicari, hanyuik dipinteh, tarapuang dikaik, tabanam disalami, kurang ditukuak, ketek dipagadang,senteng dibilai, singkek diuleh”.
4. Mamaliharo Anak Kamanakan.
Anak dan kamanakan adalah kebanggaan bagi orang di Minangkabau yang juga harus menjadi perhatian dan dipelihara sedemikian rupa sehingga dapat meneruskan garis keturunan, dengan sebaik-baiknya sebagaimana filosofi adat yang menyatakan: “ Kaluak paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang lenggokan, baok manurun kasaruaso, tanamlah siriah diureknyo, anak dipangku kemenakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan, tenggang nagari jan binaso, tenggang saroto jo adatnyo”.
Tugas:
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan:
a. Alua pisoko
b. Alua adat
c. Baadat
d. Balimbago
e. Bacupak/ bagantang
2. Apa maksud filosofi adat berikut ini:
a. Anak dipangku kemenakan dibimbiang
b. Cancang latiah nenk moyang, tambilang basi rang tuo-tuo
c. “Batanam nan bapucuak, Mamaliharo nan banyawo,
d. Anggang lalu atah jatuah, Basuriah Bak sipasin
3. Apa tujuan manuruik alua nan luruih
4. Apa Manfaat manampuah jalan nan pasa
5. Pidato Adat
DAFTAR PUSTAKA
1. Zulkarnaini.1999.Budaya alam minangkabau.bukittinggi: Usaha Iklas
2. Hakimy Idrus, Dt. Rajo Penghulu. 1994 : Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan
Pidato Alua Pasambahan Adat Minangkabau. PT.Remaja Rosdakarya Bandung.
3. Hakimy Idrus, Dt. Rajo Penghulu. 2001 : Rangkayan Mustika Adat Basandi Syarak di
Minangkabau. PT.Remaja Rosdakarya Bandung.
4. Mediani, Dt. Marajo NE, 2004.Terjemahan Buku Undang-Undang Adat Minangkabau